Tablet, materai, dan stupika dari Situs Gumuk Klinting dianggap sangat penting oleh masyarakat pendukungnya, sehingga mereka memproduksi sendiri artefak-artefak tersebut. Masyarakat Blambangan pendukung Situs Gumuk Klinting dulu bermukim di wilayah pesisir dan berprofesi sebagai nelayan. Dilihat dari densitas temuan keramik asing, rupanya mereka sering berinteraksi dengan orang-orang Tiongkok dan bangsa lainnya.
Bagaimanapun juga artefak-artefak Buddhis yang ditemukan di Situs Gumuk Klinting merupakan salah satu ciri penanda identas keberagaman budaya di Banyuwangi masa kini. Keberadaannya menjadi mata rantai yang menghubungkan budaya masa lalu dengan budaya sekarang. Artefak tanah liat itu memiliki aksara dan bahasa Jawa Kuno yang turut membentuk identitas Banyuwangi masa kini dan masa mendatang (Suastika, 2011).
Masyarakat tidak dapat memungkiri bahwa Jawa Kuno pernah menjadi bahasa keilmuan sejak abad ke-9 M sampai dengan abad ke-16 M dan meliputi banyak genre. Maka, tidak mengherankan jika inskripsi-inskripsi mantra yang ada di tablet dan materai tanah liat dari Situs Gumuk Klinting tetap menggunakan Jawa Kuno sebagai aksara dan bahasa pengantarnya. Berbeda dengan temuan serupa dari daerah lain yang menggunakan aksara dan bahasa Sanskerta.