Page 45 - Akusara
P. 45
memiliki cita-cita, tapi cita-cita itu pupus karena campur
tangan orang tuanya, mereka membakar semua peralatan lukis
milik Ardi, dan pemuda itu malah dipaksa menjadi pengusaha
untuk mewarisi perusahaan Refan. Padahal sebenarnya, cita-
cita Ardi adalah menjadi seorang seniman.
Dulu Ardi memang bodoh, dan sekarang pun tetap sama.
Dulu perjuangan Ardi adalah mendapatkan keadilan, tapi
sekarang tidak lagi, Ardi akan berjuang untuk kebahagiaannya
sendiri. Dia tentu tahu jika kebahagiaannya bukan berada di
dunia, tapi di akhirat, itu sebabnya sekarang Ardi mulai bangkit
dan berjalan ke arah meja nakas lalu mengambil sebuah pisau
buah yang ia simpan di laci.
Senyum tipis terbit di bibir Ardi, ya, dia akan berjuang
untuk mengakhiri hidupnya. Bodoh? Memang. Dia tidak yakin
jika hanya mengiris urat nadi dapat membuatnya kehilangan
nyawa, tapi jika belum dicoba, mana bisa tahu kan? Dan kali
ini Ardi akan mencobanya, dia mengiris pergelangan
tangannya, tidak ada raut kesakitan ataupun ringisan yang
keluar. Darah sudah menetes ke lantai marmer, tapi Ardi tidak
peduli. Perlahan pandangan Ardi mulai menggelap, sebelum
kehilangan kesadaran, samar-samar Ardi melihat 2 sosok yang
berdiri di depan pintu.
Sudah beberapa jam berlalu sejak aksi percobaan bunuh
diri yang dilakukan oleh Ardi, kini pemuda yang terbaring di
ranjang kamar itu mulai membuka matanya. Decakan kecil
keluar dari bibirnya ketika dugaan Ardi benar, dia tidak mati.
Tiba-tiba sebuah tamparan di pipi membuat Ardi tersadar, dia
menatap Refan yang berdiri dengan aura gelap di sekitarnya.
"Apa kau sudah gila hah!?," suara Refan menggelegar, di
tariknya Ardi hingga terbangun sempurna. Refan mulai
memukuli Ardi dengan brutal, bukan hanya itu saja, dia bahkan
melepaskan sabuk kulit di pinggangnya lalu dia mencambuk
tubuh ringkih Ardi dengan kuat. Tidak berhenti di sana, Refan
mulai mengeluarkan sebuah benda mengkilap dari sakunya.
35