Page 55 - Jejak Rasa
P. 55
Aku memang belum pernah kesana. Tapi sering mendengar cerita saudara atau tetangga-
ku yang sudah pernah kesana. Yang aku dengar setelah sampai di kawasan Teluk Damai,
perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki mendaki jalur sepanjang 1 Km di bukit kecil dan
sampai di Pantai Batu. Dari Pantai Batu, Teluk Hijau hanya berjarak sekitar 300 meter. Total
perjalanan adalah sekitar 91 Km.
Dan setibanya kami di sana, mulai sudah kami berlomba-lomba mengambil foto
terbagus untuk diunggah di akun pribadi media sosial kami atau akun Pojok Seni Banyu-
wangi. Dan Hanif tiba-tiba saja bersuara, “Jendra Adelia foto bareng! Harus!”
Sontak yang lainnya juga berseru seperti itu kecuali yang sedang dibicarakan, aku dan
Jendra. Sebenarnya aku takut Jendra jadi marah dan tidak mau bicara lagi padaku saat
yang lain menggoda kami. Tapi Jendra malah tertawa.
“Boleh juga. Mau, deh!”, ujarnya sambil menoleh ke arahku yang entah wajahku sekarang
seperti apa. Ditambah teriknya matahari, wajahnya sekarang pasti sangat memalukan.
Akhirnya aku memiliki foto berdua dengan Jendra. Senangnya!
Dua hari setelah perjalanan itu, aku dan Jendra menjadi lebih akrab dan saling berko-
munikasi satu sama lain. Mengirim pesan singkat setiap harinya. Dan selama dua hari ini
pula, Jendra mengantarku pulang. “Aku duluan, ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Jen.”
Malamnya aku dikejutkan dengan unggahan terbaru dari Pojok Seni Banyuwangi
dengan foto bertuliskan demen. Tertulis di sana sama persis seperti kalimat yang aku
ucapkan dalam hati saat itu. Tapi itu bukan aku yang mengunggahnya. Bersamaan dengan
unggahan terbaru dari akun pribadi Jendra yaitu foto bersamaku. Bertanda apa ini? Ada
sebuah korelasikah di antara kita?
Pernah suatu hari cerita kami berdua seperti kisah Sritanjung. Jendra melihatku berdua
dengan seorang lelaki yang sebenarnya adalah kakak kandungku dan sudah memiliki anak.
Dia marah padaku. Dia juga tidak percaya dengan penjelasanku.
“Aku gak percaya kalau itu kakakmu. Masa keliatan seusia gitu sama kita?”
Aku mendengus sebal namun berusaha sabar, “Jendra, aku gak pernah bohong sama
kamu. Itu beneran kakakku. Dia malahan udah punya anak.”
“Beneran?”
“Bener. Apa perlu aku terjun ke laut dan kalau air lautnya bau wangi berarti aku jujur.
Tapi kalau air lautnya bau busuk berarti aku bohong. Perlu aku kayak Sritanjung gitu dan
kamu menyesal kayak Sidopekso?”, ujarku dengan penekanan keras dan nada agak tinggi
atau bisa dibilang membentak. Jarang sekali aku membentak seseorang. Lucu sekali melihat
seorang Jendra bisa merasakan hal semacam itu.
“Iya deh, sekarang aku percaya.”
Ayah dan ibu sudah pulang sekitar dua jam yang lalu. Aku pun menyambut mereka
dengan baik. Menanyakan kabar nenek dan basa-basi soal apa saja yang mereka lakukan
selama di Surabaya. “Oh iya, bu, yah. Ada yang mau ketemu sama kalian.”
Ayah dan ibu memasang ekspresi bingung dan menggodaku, “Siapa? Cowok ya?”
Tepat. Ibu selalu mengerti. “Wah, ajak kesini kapan-kapan.”, ujar ayah sambil tersenyum
simpul.
Aku sedikit curiga, “Tapi jangan ditanya macam-macam, yah.”
Malamnya aku benar-benar tidak bisa tidur. Jendra bilang ia akan datang bersama
kedua orang tuanya. Hatiku kalut. Tak tenang. Aku bingung. Tapi juga sangat bahagia. Jan-
tung berdebar tidak sesuai ritme. Ayah dan ibu juga terlihat sangat senang mendengarnya.
Membuatku semakin gelisah. Berkali-kali aku memandangi jam dinding yang seakan-akan
berhenti bergerak. Terasa sangat lama sekali untuk mencapai hari esok. Dan aku terbangun
di hari selanjutnya. Benar adanya.
Jendra beserta ayah dan ibunya datang ke ruamhku. Aku benar-benar malu menemuin-
ya. Dia terlihat tampan dengan kemeja kotak-kotak birunya. Rambutnya juga lebih rapi dari
biasanya. Ayah dan ibu dari pihak kami berdua pun merestui. Kami mulai merencanakan
pernikahan kami. Jantungku tak keruan. Pikiranku melayang kemanapun yang diinginkan.