Page 51 - Jejak Rasa
P. 51
pastinya. Pemandangannya juga nggak kalah menarik kan. Nah, kalau liburan di tempat
lain, udah biayanya mahal, tempatnya pun kita belum tahu kan, nanti kalau nggak sesuai
harapan gimana? Ayah udah mutuskan, kita liburan di Banyuwangi aja,” simpul ayah. Aku
sangat kecewa pada keputusan ayah. Sontak, aku melonjak dan bergegas menuju kamar.
Pintu kamar kututup dengan keras. Aku merajuk. Tapi, mau bagaimana lagi. Mau tidak mau,
aku harus menuruti perintah ayah. “Kapan yah?” suara tanya Jelita pada ayah terdengar
sayup-sayup dari kamarku. “Insya Allah, kita berangkat lusa. Ayah masih buat jadwal dulu.
Pokoknya kalian tenang aja,” ujar ayah meyakinkan.
Besoknya, setelah sarapan. Ayah dan mama menyuruh aku dan Jelita untuk berkumpul
di ruang tamu. “Dengar baik-baik ya, ini jadwal kita liburan. Besok, kita mulai dari Kawah
Ijen. Lusa, kita bakal ke Pulau Tabuhan dan Watu Dodol. Lusa lagi, kita bakal ke Pulau Merah,
Sukamade, dan Teluk Hijau. Pokoknya kalian tenang aja deh, pasti kalian akan senang,”
jelas ayah sambil membaca secarik kertas bercorat-coret. Walaupun aku masih kecewa
dengan keputusan ayah tadi malam, namun tetap ada sebersit rasa penasaranku pada
wisata-wisata ini. Hanya sebersit.
Akhirnya hari itu tiba. Selepas subuh, kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku
dan ayah bertugas menyiapkan barang-barang, sementara mama dan Jelita bertugas meny-
iapkan makanan di di dapur. Waktu berjalan cepat. Kulihat jam dinding. Jarum pendeknya
di enam, jarum panjangnya tepat di antara angka dua belas dan satu. Berarti sekarang jam
6.03. Setelah semua barang telah siap, kini giliran kami bersiap-siap. Akhirnya aku sudah
segar dan bugar. Segera aku keluar rumah dan membuka pagar.
Seperti biasanya, aku menjadi tukang parkir dadakan. Namun, kini aku menjadi kernet
mobil dadakan juga. Aku tukang membawa barang ke dalam mobil. Setelah semuanya
siap, kami segera naik mobil. Dimulai dengan membaca do’a, mobil berangkat dengan
perlahan. Hari itu adalah hari pertama kami berkeliling wisata Banyuwangi. Meskipun
dengan setengah hati, berusaha kuyakinkan diriku bahwa inilah keputusan yang terbaik.
Ternyata, perjalanan terasa sangat menyenangkan. Lagi-lagi ketika sampai di suatu tempat
bernama Erek-erek. Kami harus turun mobil. Karena jalan di sana naik hampir sembilan
puluh derajat. Ayah mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Sementara kami, hanya bisa
menunggu tumpangan sepeda motor Vario milik pengunjung lainnya, lalu diantar ke atas
satu persatu. Akhirnya, ketika semua sudah naik. Kami melanjutkan perjalanan kembali.
Ketika kami sampai di Paltuding, kami beristirahat sebentar. Ayah memarkir mobil di
parkiran, karena kami harus mendaki dengan berjalan. Betapa terkejutnya aku ketika me-
lihat sebongkah papan kayu bertuliskan “Tiga Kilometer ke Ijen”. Sebelum mendaki, kami
harus melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Bagi pendaki yang menderita
asma atau penyakit jantung, tidak diperkenankan naik ke puncak. Namun jarak sejauh
itu tidak terasa. Terbayar akan pesona alam Ijen yang indah. Nampaknya, langit mulai
gelap. Kudengar sayup-sayup suara jangkrik di kejauhan. Kami sampai di tempat kemah.
Ayah menyuruh kami untuk tidur di salah satu tenda. “Ayo nak, cepat tidur. Besok harus
bangun jam satu, kalau nggak bisa ya, ditinggal,” ancam ayah sambil bergurau. Mau tidak
mau kami harus tidur.
Tepat jam satu malam, ayah membangunkan kami. “Ayo cepet bangun, rombongan
sudah banyak yang berangkat,” ujar ayah. Kami pun bergegas keluar tenda. Ternyata
benar, rombongan sudah berbaris rapi. Sedangkan rombonganku masih bolong-bolong.
Segera kami berbaris. Di paling depan ada seorang pemandu, serta di paling belakang,
ada seorang pawang.
Di perjalanan, kami melewati batuan terjal dan akar pohon yang menjulang. Yang ter-
tangkap mata hanya tatapan angkasa kelabu tak berujung yang tengah melindungi dirinya
dari serangan hitam di gelap kaki. Riuh angin menantang untuk diterjang. Berujung ketika
kutemui hamparan luas, dengan lelaki yang memikul bongkahan batu kuning bergelar
belerang. Di puncak gelap. Hanya ada seberkas sinar lampu senter yang dipasang di dahi
sang pemandu. Sekejap, kegelapan itu hilang ketika aku melihat cahaya api biru menyala
di suatu bidang bernama kawah.
50