Page 46 - Jejak Rasa
P. 46
“Arman, kita sudah di jalan buntu. Bagaimana kalau kita tak bisa meneruskan ini? Aku
hanya takut...“
“Rima, dengar! Aku tak akan menyerah, kita akan tetap bersama. Itu yang kau mau
bukan? Aku akan membawamu kerumahku. Kita akan melakukan kawin colong. Kau mau?”
“Apa hanya ada jalan itu? Apakah ini jalan terakhir? Arman, baiklah bawa aku bersa-
mamu. Jika ini jalan terakhir untuk masa depanku.”
“Malam ini, aku akan membawamu malam ini. Aku berjanji orang tuamu tak tahu.
Tunggu aku malam ini saat semua orang tidur.”
Aku mengangguk, dan dengan cepat Arman berlari keluar.
Malam ini, akan menjadi malam yang menegangkan. Aku terus memikirkan ini sejak
siang tadi. Haruskah kulakukan ini, Arman? Bagaimana tanggapan Bapak nanti? Aku
seperti....
Ibu masuk ke kamarku, menyuruhku tidur. Aku tak bisa tidur, karena rencana malam
ini yang selalu berputar-putar diatas kepalaku. Kemudian, Arman mengetuk jendela dan
masuk, memintaku keluar bersamanya. Aku dibawanya lari, namun ditengah jalan Bapa-
kku menghadang da membawa pasukan polisi kampung untuk menagkap kami. Mungkin
mereka akan membawa Arman kepihak berwajib, karena telah menculikku. Arman tetap
menggenggam tanganku, tapi... aku terpisah dengannya.
Aku selalu terbayang-bayang akan hal itu.. tentang rencana kami yang akan gagal. Aku
sangat takut untuk melakukannya. Tapi, apadaya jika tak ada cara lain. Ini adalah jalan
buntu yang menimpaku dan Arman. Tepat pukul 22.45 malam, saat semua orang tertidur
Arman menjemputku, dan dari jendela ia berusaha meyakinkanku lagi.
“ Rima, kita bisa lakukan ini. Ayolah!”
Aku keluar dari jendela kamar, lalu menutupnya kembali. Dengan membawa rasa berat
dan tangisku takut, akau berlari bersama Arman. Dia menuntunku agar tetap disampingnya
saat kami berjalan di jalan gelap. Belum jauh dari rumahku, tiba-tiba sesuatu menghenti-
kanku dan... “Lepaskan! Jangan bawa aku! Balekno isun menyang umah! Aku takut !! hiks
hiks hiks... jangan bawa aku!”
Aku berhenti, melepas genggaman Arman. Kejadian malam itu, saat aku kecil, tiba-tiba
muncul dan membuatku berteriak. Aku merasa bahwa aku benar-benar diculik. Arman
terlihat sangat bingung, karena aku terus berteriak. Untung saja dijalan itu sedang sepi. Dia
berusaha keras untuk membangunkan ku dari kejadian yang berputar mengelilingi kepalaku.
Dia membawaku keluar, membangun kekuatan ku agar aku keluar dari pikiran itu, berhenti
berteriak sebelum seseorang melihat kami. Arman membawaku berlari, menggenggam erat
tanganku. Aku tak berdaya, dan hanya berlari mengikuti tuntunan Arman. Pemimpin jalan
yang berada di depan. Teman kecilku yang menuntunku pada jalannya.
Kami tiba di rumah Arman. Disana orang tuanya sudah menunggu kami. Ibu Arman
menghampiriku, dan mengajakku masuk untuk beristirahat. Arman dan ayahnya masuk,
dan kudengar mereka sedang membicarakan tentang seorang colok yang akan dikirimkan
ke rumahku. Ibu Arman sangat ramah, ia menawarkan segalanya padaku, padahal saat itu
aku tidak mau apapun, hanya memikirkan ini akan berhasil atau, bagaimana dengan ibu?
Lalu bapakku? Mungkin beliau akan marah. Aku benar-benar tak tahu bagaimana.
Keesokan harinya, 24 jam berlalu. Aku masih disini, merasa tenang tapi khawatir juga.
Akan apa yang terjadi dengan prosesi kawin colong yang kulakukan ini. Ayah Arman sudah
mengirimkan seorang colok untuk memberi tahu kedua orang tuaku bahwa aku ada di sini,
di rumah Arman. Sementara semua orang di sini sedang menantikan kedatangan colok itu,
bersama Arman aku duduk di serambi taman di rumah Arman, dia sama seperti biasanya,
mulai berkalimat-kalimat panjang. Angin yang berhembus mengiringi kalimatnya itu. Aku
hanya menatapnya bahagia. Tak lama kemudian sang colok datang, kuharap ini akan men-
jadi kabar gembira. Sang colok menceritakan segalanya kepada orang tua Arman dan kami
mendengarkannya dari kejauhan. Tapi, entahlah aku tak tau ekspresi Bapak setelah Colok
memberitahunya. Ibuku mungkin akan menangis. Lalu, selanjutnya kami harus menunggu
sang colok Balen yang menentukan apakah aku akan selau bersama dengan Arman atau
45