Page 43 - Jejak Rasa
P. 43
Kawin Colong
Oleh: Ina Mardiana Putri*
Di tempat gelap itu, “Emaak....! “
“ Ssssttt!... tenang.. tenang.. Bapak hitung, siji.. loro.. Ayok! “
“ Ayo, Pak! “
“ Emaaak...! hiks..hikshiks..! “
Mungkin menikah dan mencuri adalah hal yang sangat berbeda. Tapi di Banyuwangi
keduanya bisa menjadi sebuah irama yang menggugah hati. Sebuah irama yang mengiringi
perjalanan cintaku dengannya. Dan inilah kisahku......
Angin deras pagi hari mulai menyambar dedaunan kering yang akan kusapu di depan
rumah. Kurasakan embusan damainya melewatiku, lalu menghilang setelah menggoy-
angkan dahan sebuah pohon. Pagi ini begitu cerah sehingga mengobarkan semangatku
untuk beraktivitas, lebih semangat dari hari kemarin. Namun, pada akhirnya angin yang
hilang tadi kembali memutar arah dan mengais tumpukan daun yang kukumpulkan, hingga
menguras keringat pagiku, angin itu melawan arah pula. Ku katakan, “Harusnya, kulaku-
kan ini sore hari.” Akhirnya, aku berhenti menyapu daun-daun itu, lalu meninggalkannya
terombang-ambing angin, berserakan lagi. Aku masuk kedalam rumah dengan rasa lelah
dan kesalku karen angin.
“Astaghfirullah. Pagi ini. Lelah. Oh, ya aku harus pergi ke pasar! “
Aku seorang gadis perawan yang tinggal di suatu desa di Kabupaten Banyuwangi. Yang
masih kental dengan adat istiadat dan terjaga dari akulturasi dunia modern saat ini. Ku
habiskan hari-hari setelah lulus dari SMK dengan menjalani usaha warung jajanan, yang
baru saja kugeluti sejak satu tahun lalu. Sedikit-sedikit aku membantu ibu dan bapak untuk
membiayai hidup dan sekolah adik.
Warung yang kumiliki tak dekat dengan kota, namun sangat strategis di desa ini. Kuha-
biskan waktu pagi sampai soreku di sana, untuk membuat dan menjual jajanan khas Banyu-
wangi. Warungku cukup ramai dikunjungi orang-orang desa dan sangat menyenangkan
ketika anak-anak kecil bermain di sekitar warung. Canda mereka yang terdengar, mengobati
kejenuhan yang berputar-putar di kepalaku. Karena itu, kemudian ku bawa buku-buku
koleksiku semasa SMP-SMK agar mereka betah untuk menemaniku di warung. Kunikmati
keheningan saat menjelang sore hari. Tenangnya udara di sini dan matahari yang anggun
oleh warna jingganya itu. Setelah sore tiba, aku pulang dan mulai berdiam diri di rumah,
dan malam ini kubantu ibuku membuat kerajinan anyaman. Kulihat tangan-tangan Ibu,
yang sangat lincah memainkan jarinya kesana kemari untuk menganyam. Tangan lembut
yang serba bisa. Bapakku duduk di kursi dengan secangkir kopi hitam di meja, sedang
mengoceh dengan adik laki-lakiku. Menanyakan sekolahnya, juga teman-temannya. Aku
yakin adikku tidak suka bapak selalu bertanya tentang itu, karena adik bukanlah anak yang
suka berbicara banyak. Dia sangat pendiam dan misterius. Si tampanku Alfan.
Malam mulai berangsur larut dan suara jangkrik menghiasi udara malam ini. Aku masuk
ke kamar, ingin bergegas untuk tidur, lalu saat kunaiki kasur, aku teringat akan halaman
rumah yang belum selesai kusapu, tak ingat sore ini apa yang kulakukan sampai aku melupa-
kannya. Ya, aku masih pelupa saja. Mungkin Ibu yang sudah menyapunya.
“ Ring.. ring.. ring.. .. ring.. ring! “
Ponselku berdering, membuatku terkejut. Pesan yang dikirim olehnya, setiap malam,
saat beranjak ia untuk tidur, mungkin. Ini pesan dari Arman. Arman adalah seorang perawat
di salah satu rumah sakit di kota dan orang tuanya tinggal di desa ini. Orang tua Arman
adalah juragan padi di desa ini, mereka sangat dermawan. Aku bertemu dengan Arman
lima tahun lalu, bisa dibilang ia adalah teman kecilku. Saat itu ada pertunjukan jaranan di
desa sebelah dan kami berkenalan di sana. Lalu kutahu, bahwa kami satu sekolah dan satu
desa pula. Sejak saat itu kami mulai dekat dan hingga sekarangpun dekat, sangat dekat.
42