Page 40 - Jejak Rasa
P. 40

Tersembunyi
                                 Oleh: Anatus Solehah*
            Pagi itu di dalam sebuah rumah di daerah Banyuwangi, terlihat di dalamnya sangat
          sibuk dengan pekerjaanya. Pagi-pagi buta sudah mulai menyibukkan diri dengan mecari
          pakaian untuk di pakai hunting.
            “Kau mau ke mana?” tanya Desi saat melihat Rere yang sedang memakai sepatu yang
          sangat bermerk itu.
            “Aku mau hunting, kau enggak mau ikut?” tanya Rere sambil membenarkan tali sepa-
          tunya.
            “Tidak terima kasih, aku tidak punya uang untuk pergi begituan.”
            “Ah, tinggal minta orang tuamu saja kok repot,” jawab Rere dengan nada kesal.
            “Tidak Re, aku tidak mau membebani orang tuaku dengan semua itu.” Desi menatap
          Rere nanar dengan beribu pengharapan ingin bisa seperti dia. “Jangan begitu Desi! Kau ini!
          Lihat orang tuamu banting tulang seperti itu hanya untuk menghidupi dan menyekolahkanmu.
          Dan kau hanya ingin menyia-nyiakan uangnya untuk pergi ke mana saja? Kau terlalu bodoh!”
          hati Desi berkecamuk dalam gejolak kehidupan yang tak layak untuk menyia-nyiakan uang.
          Desi lahir di keluarga yang tidak mampu. Untuk bersekolah saja itu sudah sangat bersyukur.
          Karena dalam pedoman keluarga Desi adalah sebuah pendidikan itu penting.
            “Eh, Des! Ngelamun aja!” tegur Rere seketika melihat Desi melamun terbawa pikirannya.
            “Eh, endak kok. Kau sudah mau berangkat Re? Hati-hati di jalan. Aku balik dulu.” Desi
          mulai melangkahkan kakinya menjauh dari Rere.
            “Tunggu sebentar Des!” teriak Rere menghentikan langkah Desi.
            “Ada apa Re?”
            “Kau ikut aku yuk!” ajak Rere dengan semangat.
            “Ke mana?”
            “Hunting lah, kemana lagi cobak?”
            “Tap, tapi...,”
            “Enggak usah tapi-tapian, ikut aku! Ganti baju kamu!”
            Desi dengan sergap mendengar ucapan Rere langsung pergi ke rumahnya. Dia tahu jika
          temannya itu apabila permintaanya tidak dituruti akan mengamuk dan lalu mengomel.
          Jadi, apa boleh buat.
            Rere mondar-mandir di depan rumah Desi yang sesekali melihat jam tangannya. Mesin
          motornya itu dihidupkan. Dari arah dalam Desi sudah berganti pakaian. Meminta izin kepada
          Ibunya untuk pergi bersama Rere.
            “Lamanya kau nih Des!” teriak Rere kesal karena menunggu begitu lama.
            “Maaf Re, tadi sedikit membantu Ibu.”
            “Sudahlah, ayo kita berangkat! Dan kamu memakai baju itu?!”
            “Iya Re, enggak apa-apakan?”
            “Emmm, enggak apa-apa sudah. Ayo! Kita nanti terlambat!”
            “Memangnya kita mau ke...,”
            “Sudahlah cepat!”
            Desi begitu lihai menaiki sepeda motor itu. Duduk manis di atasnya dan menatap
          sekelilingnya. Rere hanya terfokus dengan jalanan yang ada di depannya.
            Di jalanan banyak orang yang menatap Desi begitu aneh, menatap dengan tidak
          menyenangkan. Desi sadar diri karena mungkin pakaian yang Desi pakai tidak sebagus
          Rere pakai.  Perjalanan itu memakan banyak waktu hingga membuat Desi mati kutu
          dikarenakannya.
            “Sudah sampai!” teriak Rere sambil mematikan motornya. Tanpa disadari oleh Desi,
          dia sudah sampai di tempat yang begitu padat.
            “Kali Lo?” Desi membaca tiang-tiang yang membentuk tulisan Kali Lo tersebut.
            “Iya, Kali Lo. Kita berada di Banyuwangi Kota,” jawab Rere begitu sergap. Desi hanya
          diam kebingungan dan begitu kikuk. “Des! Ayo sini! Foto kan aku!” teriak Rere membuyarkan
                                       39
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45