Page 80 - Jejak Rasa
P. 80
Setelah itu aku pun juga ikut mencari ifi, teman-teman sudah mencarinya di dima-
na-mana. Tapi ifi tidak ditemukan juga. Hanya ada satu tempat yang belum aku dan teman-
teman periksa. Pura itu, tempat petilasan itu. Aku pun berusaha memberanikan diri untuk
melangkah perlahan hingga sampai tepat di depan pura.
Setelah aku mencoba melihat ke dalam pura yang gelap itu. Aku langsung dikejutkan
dengan sosok perempuan berambut panjang yang menghadap kebelakang. Mata ku
terbelalak.
“ifi, kamu kah itu??” setelah aku bertanya, wanita itupun langsung menghadap ke ar-
ahku dengan rambutnya yang terurai terkena angin, dengan matanya yang memancarkan
cahaya yang menyorot langsung ke mataku. Cahaya itu serasa tembus ke kepalaku dan
membuat aku langsung terkapar tak sadar di depan pura.
Teman-teman dan mbah pardi yang melihat aku sedang tidak sadarkan diri pun,
langsung berlari dan segera menbantu ku, tetapi saat tangan-tangan mereka memegang ku.
Aku pun melontarkanya dengan cepat. Tari dan dara yang memegang tangan ku, langsung
terjatuh karna serangan dari ku.
Dengan perlahan aku berdiri dengan melepas ikat rambutku, dengan angin yang ken-
cang rambutku terurai hingga menutupi wajahku. Ada sinar yang terpancar dari mataku.
Tangan ku yang lemas tiba-tiba terangkat dengan sendirinya. Mulut ku terbuka.
“aku nyi resek penjogo nang kene, rawa bayu wes dadi panggonan poro dayang lan
prajurit-prajurit para keraton jowo”
Teman-teman yang melihat diriku yang sedang dihuni dengan roh penjaga rawa bayu
ini, nyi resek. Mereka menjadi ketakutan.
“lak koe gelem njaluk pangapuro nang panggonan iki, aku gelem mbalekno uwong
seng wes ngotori rawa bayu iki!!” kalimat ku semakin memperjelas dengan suara yang
semakin lantang.
Setelah aku mengucap kalimat itu. Angin yang tadinya bertiup kencang sekarang menja-
di tenang. Cahaya dari mataku pun menjadi hilang, dan tubuh ku kini kembali terkapar lagi.
Kakek tua itu mendekati ku dan langsung menggendong tubuhku ke depan tokonya.
Mbah pardi dan teman-teman langsung mendekati ku. Teman-teman ku menangis.
“sayu bangun yu!!” ujar tari sambil memegang tangan ku. Dara, febiola dan naila juga
ikut menangis. Mbah pardi pun juga mendekat kepadaku dan kakek.
“nopo o sedoyo niki mbah?” tanya mbah pardi dengan suara lembutnya ke kakek tua itu.
“kulo mboten semerap kaleh bocah-bocah sak niki iki, tempat suci ora dianggep maleh
tempat suci, sedoyo bocah nggae kesalahan lan perkoro teng tempat niki!” jelas kakek tua
itu dengan menundukan kepalanya.
Lalu kakek tua itu memegang kepalaku, bibirnya mulai bercemat-cemit dengan tangan
satunya yang memegang sebuah gelas berisi air putih. Setelah membaca doa-doa kakek itu
memasukan tanganya ke dalam gelas dan memercikan air itu ke wajah ku 3 kali.
Dengan percikan air itu, akhirnya aku pun menjadi tersadar. Perlahan-lahan aku
membuka mataku. Akupun segera berusaha untuk duduk meski badan ku masih terasa
lemas, aku tidak mengerti apa yang sudah terjadi kepadaku. Setelah aku berhasil duduk,
teman-teman langsung memeluku.
“akhirnya kamu siuman!!” kata naila sambil tersenyum.
“apa yang terjadi pada ku??” tanya ku dengan nada yang sangat halus.
“udah deh kamu jangan nanyain itu dulu!!” saut tari dengan mmegang tangan ku.
Aku pun mengganggukan kepala ku sambil tersenyum. Tetapi setelah aku menggera-
kan kepala ku dan melihat ke arah pura itu. Aku pun dibuat terkejut karna melihat ifi yang
terkapar lemas di depan pura itu, tempat tadi aku juga pingsan tak sadar disana.
“itu itu ifi disana!!” kata ku spontan sambil menunjuk ke arah pura itu.
Setelah mendengar perkataan ku. Teman-teman langsung menoleh ke arah belakang,
dan langsung berlari ke arah ifi. Aku yang masih sangat lemas hanya bisa melihat dari sini.
Aku masih tak bisa berjalan.
“ndok!!” kakek itu memanggil ku.
79

