Page 64 - Jejak Rasa
P. 64
“Aku gak tau Bim, ayo cepat kita bawa ke rumah sakit.” Jawab Dino tergesa-gesa.
Dokter pun memeriksa keadaan Dewi dan Citra, ternyata setelah di periksa, dokter
mendiagnosis bahwa tidak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya, kematiannya pun
sangat misterius, terjadi di malam jumat legi. Waktu dimana sebagian orang meyakini bahwa
di malam jumat legi adalah waktu yang tepat untuk melakukan santet.
“Bim, kenapa ini terjadi sama kita? Apa betul Dewi dan Citra kena santet?” Tanya Doni
sembari tersedu-sedu.
“Aku percaya gak percaya sih, tapi katanya Banyuwangi ini terkenal sebagai kota santet Don”
“Lalu kalau betul Dewi dan Citra kena santet? Siapa yang menyantet mereka? Apa
mereka pernah ngelakuin sesuatu yang salah ketika berada di Banyuwangi?” Tanya Bima
semakin penasaran.
“Aku tau apa yang harus kita lakuin.” Saran Doni.
“Apa?”
“Kita harus nyari Febri sampai ketemu.”
Bima dan Doni pada akhirnya memilih pulang ke rumah Febri untuk beristirahat se-
jenak. Alangkah terkejutnya mereka mendapati pintu rumah terbuka dan di dalamnya tidak
ada orang sama sekali. Barang-barang yang berada di rumah pun tidak ada yang hilang,
kalaupun yang masuk maling, pasti ada barang yang di curi. Setelah menulusuri dari sudut
ke sudut rumah mereka melihat pintu kamar Febri terbuka, mereka masuk dan mendapati
hal yang tidak terduga sebelumnya.
“Aku udah tau siapa pelakunya, gak salah lagi, teman kita sendiri, sahabat kita sendiri
ternyata pengkhianat.” Ucap Bima dengan sangat marah.
“Iya Bim, gak nyangka banget. Ini ada foto Citra dan Dewi, juga ada boneka yang dililit
benang serta di tusuk jarum, dan juga ada sesaji. Gak salah lagi, Febri yang nyantet pacar
kita. Ayo kita cari Febri, kita habisi dia, pembalasan jauh lebih kejam.” Dendam Doni
Bima dan Doni terus mencari keberadaan Febri. Menelusuri jalan demi jalan. Hingga
terbesit di pikiran Bima ingin mencari keberadaan Febri di Alas Purwo, karena kali terakhir
ia melihat Febri berada di tempat tersebut. Dan dugaan mereka benar. Febri berada di Alas
Purwo seorang diri. Terlihat dia seperti berbicara sendiri dengan sepatah kalimat yang
terdengar oleh Bima dan Doni.
“Dewi dan Citra sudah lenyap, tinggal dua lagi yang belum.” Ungkap Febri yang seketika
itu juga di dengar oleh Bima dan Doni.
“Oh jadi kamu yang nyantet pacar kami? Teman macam apa kamu ini, dasar pengkhi-
anat!” Amarah Bima kepada Febri.”
“Kalau iya kenapa? Tinggal kalian yang belum ku habisi, tunggu tanggal mainnya aja,
bersenang-senanglah dulu kalian, nikmati keindahan kota Banyuwangi sebelum kalian
mati!” Ucap Febri sambil tertawa.
“Jadi selama ini kamu ngajak kita ke Banyuwangi cuma pengen nyantet kita?” Tanya
Doni meminta penjelasan kepada Febri.
“Iya, semua udah aku rencanakan dari awal, kalian dapat undangan ketika itu adalah
aku yang memberi undangan, aku tulis “from: Leafar Irbef” padahal sebenernya itu namaku
yang sengaja aku balik.” Celetus Febri
“Terus kenapa kamu tega menyantet pacar kami?” Lanjut Doni.
“Ceritanya panjang. Aku sakit hati sama Dewi dan Citra, terutama Dewi. Dulu ketika
ibuku masih hidup, aku pingin ngasih kebanggaan kepada ibuku, yakni aku ikut lomba
menulis cerpen. Tapi aku gagal juara karena Dewi, Dewi sengaja menyuap juri agar me-
menangkan karyanya, dan aku baru tau yang sebenernya juara adalah aku, aku sakit hati,
karena pada waktu itu ibuku sedang sakit keras dan divonis dokter tidak akan lama umurnya.
Aku gagal membuat ibuku bangga di akhir hayatnya. Dan aku juga benci ke Citra, aku dulu
sempat suka dan berusaha nembak Citra, tapi Citra nolak aku dihadapan temen-temenku,
aku malu, harga diriku di permainkan, aku gak terima. Dan yang lebih sakit, kamu (Doni)
malah jadian sama Citra.” Sambil memukul wajah Doni.
Mereka pun tak bisa dielakkan, baku hantam pun terjadi di antara keduanya. Hingga
63