Page 69 - Jejak Rasa
P. 69
Ting..ting...ting...suara musik gamelan yang menyambutku. Hembusan angin yang
mendorong-dorongku menuju asal suara itu. “Srek...srek...srekk...tap” kaki ini terhenti di
sebuah padepokan. Tertulis “padepokan sanggar tari” disebuah papan nama. Lama sekali
aku di sana. Telinga ini, rasanya sudah puas mendengarkan dengungan gamelan yang indah.
Mata pun, sudah lelah menimpa indahnya gemulai badan penari yang sangat elok dipan-
dang. Tak terasa mentari akan tergelincir ke ufuk barat. “Aku kan pendatang baru belum
punya rumah untuk ditinggali” lirih hati. Aku segera bergegas menuju sebuah pemukiman
sambil menenteng tas besar.
“Lo dek mau kemana?”tanya ibu-ibu yang bergincu tebal
“Mau cari kontrakan buk”
“Kebetulan saya ini punya padepokan kecil di seberang sana, kamu boleh tinggal di
sana dengan teman-teman yang lain”
“Benarkah saya boleh tinggal”
“Ya, tentu saja”
Aku dituntun, menuju padepokannya. Suasana mencekam datang saat ku lewati ba-
tas pintunya. Ragu langkah kaki ini namun, bisik hati berkata ”mau tinggal di mana lagi”.
Terpaksa aku ikuti saja kata hatiku tanpa berpikir lagi. Aku ditempatkan di sebuah ruang
kecil nan gelap.
“Tidurlah nak, kamu harus tidur nyenyak hari ini. Ingat juga kondisi bayimu”
Kujawab dengan anggukan kepala
Dia meninggalkanku. Takut setengah mati rasanya tidur digelap gulita tanpa lentera
sepercik pun. Ku coba pejamkan mataku sampai kurasa sayup-sayup dan tidur.
Malam menjelma menjadi pagi. Fajar pun senantiasa siap menyingsing menyinari bumi
ini. Kali ini berbeda dengan hari biasa aku malas sekali untuk bagun. Badanku sakit-sakit,
rasanya tulang-tulangku sampai mau rontok semua. Mungkin kecapekan karena perjalanan
panjang kemarin. Tapi aku harus tetap bangun pagi karena di sini bukan rumahku yang dulu.
Kubuka pintu kamar itu. “srek srek srek” suara gesekan kaki dengan lantai kasar ini.
Sambutan yang kurang ramah diperlihatkan dengan ekspresi raut muka , dan sorotan-so-
rotan tajam, bola matanya terus saja mengikuti langkah ini. Gerak-gerik yang aneh pun
muncul secara tiba-tiba yang membuat rasa yang seharusnya nyaman menjadi tegang.
“aaaaaa.....” suasana yang tegang berubah menjadi gak karuan. Sakit yang mengguncang
perutku seakan merenggut nyawaku. Pandanganku kabur, tangan-tangan berhamburan
di sekelilingku. Entah mau menolong atau sebaliknya. Mendadak semua menjadi hitam.
Lama...lama...lama di kejauhan aku lihat lentera yang dibawa anak kecil itu semakin
mendekatiku.
“Sudah sadar sudah sadar...” suara bocah teriak-teriak
Badanku lemas, kepala agak pusing.
“Oh, sudah sadar. Selamat atas kelahiran anaknya. Anaknya perempuan cantik dan
lahir dengan operasi caesar”
“Terima kasih dokter, kapan saya bisa pulang dok?”
“Jika sudah merasa baikkan kamu boleh pulang”
Kugendong dia dengan erat dan kukecup keningnya. “Akan kurawat kamu hingga
dewasa” janji yang kuucap di hati.
Detik demi detik telah berlalu. Sang rembulan muncul di sebalik awan. Dibawahn-
ya aku berjalan menggendong anakku dan menggandeng bocah yang mengurusku dirumah
sakit. Dia menuntunku menuju padepokan kemarin. Perjalanan yang lumayan jauh pun
akhirnya membuahkan hasil yang manis. Kami tiba di padepokan kira-kira tengah malam.
Anak itu membukakan pintu untukku. Aku pun langsung beristirahat dikamar, tak lupa aku
mengucapkan terimakasi kepada malaikat kecil itu.
“Byurrr” ibu pemilik padepokan menyiramku, entah salah apa aku ini, sampai
dia tega begitu kepadaku.
“Kamu harus membayar semua biaya sewa disini dan semua biaya rumah sakitmu”
katanya
68